Berbuka dengan yang manis-manis atau dengan kurma?


Ketika bulan puasa seringkali di Indonesia muncul kalimat, "Berbuka dengan yang manis - manis" namun di sisi lain masyarakat juga mulai terbiasa berbuka dengan kurma kering yang biasa dijual di pasar, supermarket atau department store. Namun manakah sesungguhnya yang lebih utama?

Sebenarnya yang disebutkan secara eksplisit di dalam nash hadits adalah berbuka dengan ruthab, yaitu kurma segar yang baru dipetik. Bila tidak ada beliau SAW berbuka dengan kurma. Bila tidak ada keduanya, barulah dengan air putih.

أن النبي كَانَ يُفْطِرُ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّيَ عَلىَ رُطَبَاتٍ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ رُطَبَاتٍ فَتُمَيْرَاتٍ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تُمَيْرَاتٌ حَسَا حَسَوَاتٍ مِنَ المَاءِ
Dari Anas bin Malik ia berkata, "Rasulullah berbuka dengan rutab sebelum shalat, jika tidak terdapat rutab, maka beliau berbuka dengan tamr, jika tidak ada beliau meneguk air. (HR. Ahmad dan Abu Dawud)
Istilah ruthab (رطب) sebenarnya bermakna kurma juga, namun berbeda dengan kurma yang sering kita lihat. Ruthab adalah kurma yang masih muda, segar, berair, dan tentu saja menyehatkan. Sedangkan istilah tamr (تمر), itulah kurma yang sering kita temukan. 
Selain hadits di atas, juga ada hadits lainnya :
إِذَا أَفْطَرَ أَحَدُكُمْ فَلْيُفْطِرْ عَلَى تَمْرٍ فَإِنَّهُ بَرَكَةٌ فَإِنْ لَمْ يَجِدْ تَمْرًا فَالمَاءُ فَإِنَّهُ طَهُوْرٌ
Dari Salman bin Amir radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabda, ”Bila kalian berbuka puasa, maka berbukalah dengan kurma, karena kurma itu barakah. Kalau tidak ada kurma, maka dengan air, karena air itu mensucikan. (HR. Abu Daud dan At-Tirmizy)

Dari penjelasan di atas tidak kita temukan anjuran kalimat untuk berbuka dengan sesuatu yang manis-manis. Lalu darimana ungkapan ini berasal?
Dua ulama di masa dahulu yaitu Al-Hattab Ar-Ru'aini (w. 954 H) dan Al-Kharasyi (w. 1101 H) yang menafsirkan bahwa perintah berbuka dengan ruthab atau kurma karena agar bisa memulihkan penglihatan yang menurun akibat puasa. Kalau tidak ada keduanya, bisa dengan manis-manisan, kurang  lebih seperti itu fatwanya. 
Al-Hattab Ar-Ru'aini (w. 954 H) salah satu ulama mazhab Al-Malikiyah menuliskan pendapat salah satu ulama tentang berbuka dengan yang manis-manis ini, di dalam kitab beliau Mawahibul Jalil fi Syarhi Mukhtashar Khalil, sebagai berikut :

قال الشيخ زروق في شرحها: من سنن الصوم تعجيل الفطر رفقا بالضعفاء واستحبابا للنفس ومخالفة لليهود وكونه بالتمر أو ما في معناه من الحلاوات لأنه يرد للبصر ما زاغ منه بالصوم

Syeikh Zarruq berkata dalam syarahnya :  Di antara sunnah-sunnah puasa adalah menyeragakan berbuka, sebagai bentuk kasih sayang kepada orang yang lemah, menyayangi diri dan menjadi pembeda dengan orang yahudi. Dan dengan memakan kurma atau apa yang semakna dari yang manis-manis, agar mengembalikan penglihatan yang berkurang lantaran puasa. [1]

Al-Kharasyi (w. 1101 H) salah satu ulama mazhab Al-Malikiyah menuliskan di dalam kitabnya, Syarah Mukhtashar Khalilsebagai berikut :
وإنما استحب التمر وما في معناه من الحلاوات لأنه يرد للبصر ما زاغ منه بالصوم 

Diistihbabkan berbuka dengan kurma atau yang sejenisnya dari yang manis-manis karena untuk mengembalikan penglihatan yang berkurang lantaran puasa. [2]

Selain itu yang sering disebut-sebut berpendapat seperti ini adalah salah satu ulama di dalam mazhab Asy-Syafi'iyah, yaitu Al-Qadhi Ar-Ruyani. Di dalam beberapa kitab fiqih mazhab Asy-Syafi'iyah kita temukan para penulis kitab mencantumkan pendapat Ar-Ruyani ini.

An-Nawawi (w. 676 H) salah satu muhaqqiq besar dalam ruang lingkup mazhab Asy-Syafi'iyah memuat pendapat Ar-Ruyani ini di dalam karya beliau, Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab sebagai berikut :

وقال الروياني يفطر على تمر فإن لم يجد فعلى حلاوة فإن لم يجد فعلى الماء وقال القاضي حسين الأولى في زماننا أن يفطر على ما يأخذه بكفه من النهر ليكون أبعد عن الشبهة وهذا الذي قالاه شاذ والصواب ما سبق كما صرح به الحديث

Ar-Ruyani berkata,"Berbuka itu dengan kurma, bila tidak ada maka dengan halawah (manis-manis), bila tidak ada maka dengan air".  Al-Qadhi Husein berkata yang lebih utama di zaman kami berbuka dengan apa yang didapatnya dengan kedua tangannya dari sungai, biar jauh dari syubhat. Namun apa yang disebutkan oleh kedua ulama ini syadz. Yang benar adalah apa yang sudah disebutkan di dalam hadits. [3]

Namun pendapat Al-Qadhi Ar-Ruyani dan Al-Qadhi Husein ini dikritik oleh An-Nawawi dengan menyebutkan pendapat itu syadz. Artinya bukan pendapat yang bisa diterima. Alasannya karena sudah ada hadits yang menegaskan hal ini, bahwa Rasulullah SAW berbuka dengan ruthab, kurma atau air dan bukan dengan yang manis-manis.

Kata halawah dalam kamus bahasa Arab memang berarti makan yang rasanya manis. Namun secara istilah tidak mentang-mentang rasa suatu makanan atau itu manis, lantas bisa disebut dengan halawah. 

Buktinya batang tebu yang manis itu tidak disebut dengan halawah. Begitu juga gula pasir yang rasanya manis itu, tidak sebut halawah oleh orang Arab. Maka istilah halawah di Arab wujudnya pasti berbeda dengan makanan yang kita kenal. Kolak dan biji salak itu manis rasanya, tetapi belum tentu orang Arab menyebutnya sebagai halawah.

Intinya, sama sekali tidak ada larangan untuk berbuka dengan makanan yang manis-manis seperti kolak dan biji salak. Tapi juga tidak ada hadits yang memerintahkannya. Adapun penafsiran satu dua ulama tentang berbuka dengan yang manis-manis tentu saja merupakan ijtihad yang masih kontroversi di kalangan ulama. Buat kita, kalau mau boleh kita ikuti dan kalau mau juga boleh juga tidak diikuti. 
______________

sumber: rumah fiqih ustd Ahmad Sarwat, Lc, MA
foto: alif korma


Share this

Add Comments


EmoticonEmoticon